Kejadian tentang buah rambutan yang ranum nam merah merekah dijual oleh beberapa pedagang buah di sebuah pasar. Rambutan yang dari luarnya saja keliatan manis ini, tepat menempel diatas buah yang berbulu itu terdapat sesuatu yang menyerupai biji kacang polong. Namun bentuknya amat kecil seperti kerikil. Warnanya hijau dan jika dimakan akan terasa pahit dilidah. Biji-bijian kecil itu akan sering ditemui nempel diatas buah rambutan yang merah dan manis.
Beberapa saat kemudian. Datanglah seorang untuk membeli buah rambutan yang merah itu. Setelah tawar menawar lalu terjadilah kesepakatan harga diantara penjual dan pembeli itu; Rp. 10.000,- / Kg. Selama menimbang buah rambutan itu, sipenjual tidak begitu menghiraukan sebuah "biji kacang polong hijau" yang menempel dimasing-masing buah yang masuk timbangan itu. Sekalipun biji itu tampak terlihat. Sipembelipun juga tidak protes akan hal tersebut. Padahal secara logika, "biji kacang polong hijau" itu tentu saja akan mempengaruhi timbangan, walaupun tak seberapa.
Ketika selesai, si penjual memasukkan buah rambutan itu kedalam tas plastik. Si "biji kacang polong hijau" pun juga ikut serta kedalam tas plastik tanpa dihiraukan. Ketika sipembeli menerima tas plastik yang berisi rambutan itu dan membayarnya, lalu kemudian dibawa menuju sebuah mobil mewah miliknya, maka dengan serta merta si "biji kacang polong hijau" pun turut serta menikmati nyamannya naik mobil mewah dengan menempel terus pada buah rambutan yang manis itu.
Begitulah hebatnya si "biji kacang polong hijau" yang selalu nempel pada buah rambutan manis. Kemanapun ia pergi maka biji-biji itu akan ikut serta menemaninya. Padahal secara spesifik tidak ada sama sekali yang istimewa dari biji-bijian itu. Rasanya malah pahit kalau dimakan. Bahkan seandainya dari sekian biji-biji itu dipetik di tiap-tiap buah rambutan yang merah, lalu kemudian dikumpulkan - maka jangankan dijual, dikasih secara cuma-cumapun kita pasti tidak mau.
Sepenggal kejadian diatas, mengingatkan pada sebuah kejadian lain sewaktu saya nyantri di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep. Setiap kali Kiai pengasuh ke mesjid untuk mengimami shalat berjamaah dan ketika Sandal beliau dilepaskan di teras, maka begitu antusiasnya para santri berebutan untuk membalikkan dan merapikan posisi sandal pengasuh itu - agar sewaktu turun dari mesjid nanti beliau gampang memakainya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sandal santri itu sendiri. Dimana setiap usai shalat jamaah di mesjid, pasti saja ada santri yang kehilangan sandalnya. Entah itu dipinjam atau bahkan diambil sama santri-santri yang lain.
Peristiwa "penghormatan" terhadap sandal Kiai ini bukan hanya terjadi di Pesantren. Diluar pesantrenpun juga demikian. Sandal Kiai ini pasti selalu mendapatkan perlindungan yang istimewa dari masyarakat. Bahkan kadangkala tidak satupun sandal masyarakat berani dekat-dekat apalagi bersentuhan dengan sandal kiai yang dilepaskan diteras rumah maupun langgar. Walaupun, sebagaimana biji hijau rambutan diatas, merek sandal kiai tersebut - secara kualitas pasaran - harganya amatlah murah dari pada sandal-sandal yang dipakai masyarakat. Lalu kenapa "sandal murahan" kiai itu bisa "lebih mulya" statusnya dari pada sandal-sandal yang dipakai masyarakat dan para santri? Jawabannya tentu saja, karena sandal itu menempel pada Seorang Kiai atau Ulama yang ilmunya begitu luas dan kharismatik di mata masyarakat.
Contoh kasus lain semasa Rasulullah SAW. Ada seorang sahabat namanya Ibnu Mas'ud. Beliau setiap harinya selalu berpenampilan rapi, harum dan bersih. Padahal pekerjaannya setiap hari "cuma" sebagai tukang bawa sandal Rasulullah. Ketika ditanya oleh Sahabat yang lain; "Gerangan apakah yang membuatmu selalu rapi, bersih dan harum itu wahai Ibnu Mas'ud?". Ibnu Mas'ud Menjawab; "Ini aku lakukan semata karena menghormat sandalnya Rasulullah". Begitu mulyanya sandal Rasulullah itu sehingga Ibnu Mas'ud pun menghormatinya dengan selalu berpenampilan rapi, bersih dan harum.
Pun demikian halnya ketika melalkukan Isra' Mi'raj. Ketika Rasulullah SAW dan Malaikat Jibril sampai di Sidratul Muntaha. Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah SAW : "Wahai Rasulullah.. kiranya saya cukup mengatarkan Rasulullah sampai disini saja. Silahkan Nabi melanjutkan perjalanan sendiri menemui Allah SWT."
Rasulullah merasa sanksi dengan pernyataan Malaikat Jibril. Bayangkan sejak dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha hingga sampai di Sidratul Muntaha Rasulullah selalu bersama Jibril sebagai "penunjuk jalan" Beliau. Ketika melihat sesuatu yang tidak dipahami oleh Rasulullah maka Jibrillah yang menjelaskan kepada Rasullah perihal yang dilihatnya itu. Lalu kali ini tiba-tiba malaikat Jibril tidak bisa mendampingi lagi perjalanan Rasulullah "menemui" Allah. Kemudian Rasulullah menjawab: "Wahai Jibril.. tegakah aku ditempat ini meninggalkanmu..." Jibril kembali menjawab: "Wahai Rasulullah, diantara kita ini ada derajad sendiri-sendiri. Derajad saya cuma sampai disini Rasulullah. Sedangkan derajad engkau masih terus keatas..". "Tidak apa-apa wahai jibril, ikutlah denganku..." Jawab Rasulullah. "Wahai Rasulullah, Jika saya paksakan diri untuk ikut Rasulullah maka satu langkah saja saya ikut maka saya akan terbakar "disana" ya Rasul..." Akhirnya Rasullullah pun "menyerah" dan melanjutkan perjalanannya seorang diri. Yang menarik waktu itu Rasullullah "menemui" panggilan Allah sambil memakai sandal beliau.
Hal ini berbeda kejadiannya, dalam kasus yang hampir sama, ketika nabi Musa "ngotot" hendak menemui Allah. Dibukit Turizinai Nabi Musa menghadap Allah sambil membawa serta Sandalnya. Kemudian diisitulah - tepatnya di Wadil Muqaddas - Nabi Musa ditegur Oleh Allah, "Ikhla' Na'laika yaa Musa.. Fa Innaka bil muqaddasi tugha.." Artinya, "Buka sandalmu itu Musa, karena sesungguhnya di (Wadil) Muqaddash ini adalah tempat yang mulia.."
Sungguh Hebat nian Rasulullah, Nabi Musa tidak boleh menemui Allah dengan mengenakan sandal - walaupun pada akhirnya nabi Musa pingsan karena tidak kuat dengan CahayaNya Allah. Namun Nabi Muhammad justru tidak ditegur oleh Allah ketika Mi'raj "menemui"Nya dengan meninggalkan malaikat Jibril di Sidratul Muntaha.
***
Begitulah manusia. Jika manusia sudah saking mulya derajadnya, maka ia mampu "mengalahkan" derajad kemulyaan Malaikat. Bahkan sandal Rasulullah pun bisa dibilang lebih mulya dari pada Malaikat Jibril. Kenapa? Karena Jibril tidak bisa "menemui" Allah, tapi sandal Rasulullah bisa "bertemu" Allah karena menempel di kaki Rasulullah.
Demikian juga jika manusia saking bejat perilakunya, maka bisa saja ia lebih bejat dari binatang sekalipun. Ambil Contoh tupai yang mencuri biji kelapa, maka dalam aksinya tupai tidak serta merta merusak buah kelapa itu. Melainkan dilubangi kulitnya terlebih dahulu sehalus mungkin, baru kemudian si tumpai ambil isi kelapa itu. Namun akan berbeda kasusnya ketika manusia yang mencuri buah kelapa. Bisa dipastikan bukan kelapanya saja yang dicuri, bahkan sama pohon-pohonnya pun sekalian diembatnya.
Lalu yang menjadi pertanyaan bagi kita bersama. Kalau sandal Rasulullah - yang tidak melakukan Ibadah sama sekali itu bisa sedemikian mulya derajadnya. Masak manusia semacam kita ini, yang selalu Shalat, Zakat, Puasa bahkan Haji tidak bisa lebih mulya atau paling tidak menyamai derajad sandal Rasululah? Masak kita akan kalah sama sandal kiai yang selalu di tata posisinya oleh para santri ketika sang Kiai naik ke Mesjid? Masak kita kalah "sama biji kacang hijau" yang selalu nebeng timbangan harga dan kenyamaan naik mobil mewah sama rambutan merah yang manis?
Jawabannya; BISA..!! Caranya? "Nebeng" juga sama ulama-ulama. Dekatlah sama mereka. Maka dijamin, sebagaimana Firman Allah dalam Hadits QudsiNya. "Ayyuhassyaabu... Attariku syahwatahu min ajli, anta 'indi ka ba'di malaikati", Artinya, "Wahai pemuda yang mampu mengekang hawa nafsunya karenaku, maka "derajat" kalian adalah sama seperti kebanyakan malaikatku". Dekat dengan para ulama, InsyaAllah dijamin kita bisa menahan dan mengekang hawa nafsu kita. Dan dengan cara itulah Allah menyamakan derajad kita dengan Malaikat.
Jadi. Sesungguhkan kalau dipikir-pikir dengan matang. Kita ini, yang belum begitu banyak punya pengetahuan tentang agama. Sejatinya hanyalah manusia kelas Sandal. Kelas sandal yang tidak akan berarti apa-apa tanpa mencari "tebengan" kaki yang dipunyai oleh Nabi, para Sahabat dan para Ulama'. Untuk itulah mari, (sebagai manusia kelas sandal) mulai saat ini juga carilah "tebengan" yang sekiranya bisa mengangkat derajad kita. Tenju saja sebagaimana sandal biasanya, kita harus ikhlas disuruh bagaimanapun oleh "tebengan" kita. Disuruh shalat, ya Shalat. Disuruh Zakat, ya berzakat. Disuruh puasa ya puasa...
Dari Anas, dia menuturkan, Rasulullah SAW bersabda, "Dan perumpamaan teman duduk yang baik itu bagaikan penjual minyak wangi kasturi, jika minyak kasturi itu tidak mengenaimu, maka kamu akan mencium bau wanginya. Dan perumpamaan teman duduk yang jelek adalah seperti tukang pandai besi, jika kamu tidak kena arangnya (percikannya), maka kamu akan terkena asapnya." (HR. Abu Dawud).
Wallahu A'lam. Mohon Koreksinya.. Terimakasih..
Aku juga selalu pae sandal jepit teruss.. bahkan ke Mall pun pake sendal jepit juga hehehehe
BalasHapusAsuransi Syariah: terimakasih atas komentarnya.. Btw sandal jepit memang enak dipakai.. kemanapun.. :D
BalasHapus