
"Aku bersaksi tiada Ilah selain ALLAH, dan aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya..."
Minggu, 28 Maret 2010
Instrument Itu Juga Punya Hak

Jumat, 26 Maret 2010
Fatawakkal 'Alallah

Sabtu, 20 Maret 2010
Mumpung masih ada waktu. Siapa tahu sebentar lagi giliran kita

Jumat, 19 Maret 2010
Ta'limul Muta'allim

Senin, 15 Maret 2010
Beda Aktifitas Anak Desa Vs Anak Kota Selepas Waktu Magrib


Jumat, 12 Maret 2010
Belajar Lebih Dewasa Dari Kasus Pompa Air

Selasa, 09 Maret 2010
Beginilah Kalo Tidak Pernah Berolahraga
Pagi itu. Tepatnya tgl 8 Maret 2010, Sekitar jam 8.12. Saya hendak mandi. Begitu sampai dikamar mandi, saya liat airnya tinggal sedikit. Sayapun kemudian menyalakan "sanyo" (sebutan populer untuk mesin pompa air merek apapun ditempat saya). Tidak sampai 2 menit mesin pompa air yang semula mengeluarkan air dengan derasnya itu tiba-tiba tidak mengeluarkan air setetespun. Awal dugaan saya pipa airnya tersumbat. Beruntung karena jeding kamar mandi saya sudah terisi separuh. Saya pun melanjutkan mandi sesudah terlebih dahulu mematikan sanyo tadi. Berhubung waktu itu sudah hampir jam 9, saya tidak begitu menghiraukan keadaan sanyo tersebut. Yang ada dipikiran saya waktu itu adalah "takut telat masuk kantor". Saya berniat akan membenahinya sepulang bekerja nanti.
Singkat cerita, setelah pulang dari kantor, ternyata mesin pompa air itu kelelep dalam genangan air sumur yang volumenya semakin naik tinggi. Maklum saat ini memang musim hujan. Hampir setiap hari ditempat saya selalu diguyur air hujan. Sehingga bukan hal yang aneh, jika air sumur dirumah saya semakin banyak. Saya begitu bersyukur dengan diturunkanNya hujan ini. Karena di tempat asal saya (Sumenep) sangat jarang turun hujan. Kalaupun turun hujan, paling-paling cuma sebentar atau cuma rintik-rintik saja. Sehingga tak ayal, tanaman-tanaman petanipun banyak yang mati.
Sementara ditempat lain. Dari berbagai informasi di media massa yang saya ketahui. Hujan turun begitu lebatnya sehingga menimbulkan musibah, seperti banjir dan longsor yang memakan korban jiwa serta kerugian materil berjuta-juta rupiah. Innalillah. Sedangkan dirumah saya. Masih tidak seberapa kerugian yang saya rasakan dari lebatnya curah hujan ini. Hanya "sebuah" pompa air yang rusak. Tidak lebih. Walaupun harganya sekitar 500 ribu rupiah (separuh dari gaji saya perbulan). Musibah ini tidak begitu berarti bagi saya, dibandingkan petani ditempat asal saya yang mengalami kekeringan. Dibanding korban bencana banjir dan longsor. Sungguh benar-benar tidak ada apa-apanya. Hanya "sebuah" sanyo.
Untuk itulah, saya merasa masih wajib bersyukur kepadaNya atas musibah ini. Karena selain saya harus menyisihkan uang gaji saya buat betulin sanyo. Kejadian ini saya anggap juga sebagai peringatan dari Allah SWT bagi saya. Yakni agar saya tidak selalu dulu di kursi sambil baca buku dan menulis berjam-jam, agar saya tidak selalu bersantai ria setiap hari didepan monitor komputer tanpa menyehatkan badan dengan berolahraga.
Ya benar. Berolahraga dengan cara menimba air pakai ember yang ditarik melalui rotan hingga air di jeding kamar mandi saya penuh. Subhanallah. Selama 2 tahun terakhir ini saya sangat jarang sekali (bahkan bisa dikatakan tidak pernah)berolahraga. Padahal berolahraga itu sangat banyak manfaatnya buat kesehatan badan. Sepanjang pengetahuan saya, ada sekitar 40 point lebih manfaat berolahraga bagi kesehatan. Entahlah apa saja itu, yang jelas yang masih saya ingat, berolahraga itu bisa memjadikan badan kita sehat, bugar, berisi serta menjamin kecepatan metabolisme tidak turun dan peredaran darah tidak melambat.
Subhanallah..!!! Ternyata saya kurang berolahraga. Terimakasih ya Allah, telah mengingatkan hambamu ini untuk menjaga kesahatan, agar selalu semangat untuk beribadah kepadaMU.
Semoga bermanfaat.. Wallahu A'alam...
Note: Saya sangat menunggu saran dan kritikan dari para pembaca blog ini, demi perbaikan tulisan-tulisan saya berikutnya. Terimakasih.
Senin, 08 Maret 2010
Mentafakkuri Peradaban Lebah

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia (68)

kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.(69)
Alhamdulillahirabbil 'alamin.. Saat membuat oret-oretan ini saya masih diberi amanah oleh Allah, berupa kesehatan lahir batin yang benar-benar harus saya manfaatkan sebaik mungkin. Karena kesehatan yang telah Allah berikan ini harus saya pertanggung jawabkan diakhirat kelak, untuk apa saja saya gunakan kesehatan saya?
Mudah-mudahan dengan mengawali segala aktifitas dengan rasa syukur ini, kita senantiasa diberikan taufiq dan hidayah oleh Allah untuk selalu berjalan lurus di atas rel Islam. Sehingga kita dimasukkan olehNya kedalam golongan orang-orang yang beriman dan bertaqwa (Al-Muttaqien), dan suatu saat nanti kita akan mengakhiri hidup didunia ini dalam keadaan Muslim.
Sebagaimana yang di perintahkan oleh Allah:

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan Islam." (QS. Ali-Imran: 102)
Perintah Allah dalam Al-Quran diatas sudah jelas dan gamblang sekali. Menurut saya tidak perlu kita mentafsirinya lagi, bahwa jika kita benar-benar mengaku orang-orang yang beriman, maka hendaklah kita selalu takut kepadaNya, dengan menjalani segala perintah-perintahNya serta menjauhi segala laranganNya hingga ajal menjemput hidup kita.
Lalu bagaimana seharusnya kita beriman dan bertaqwa yang benar sesuai ajaran Islam? Terkait hal ini banyak sekali ayat Al-Quran dan Hadits-Hadits Nabi yang bisa kita jadikan pegangan. Selain itu ada juga Ijtihad para Ulama sebagawai pewaris para Nabi. Mudah sekali sebenarnya ajaran Islam ini. Bahkan kehidupan alam sekitar kitapun (jika kita benar-benar mau mentafakkuri sejenak atas penciptaannya) ternyata semuanya terdapat banyak hikmah yang bisa kita ambil sebagai bahan instrospeksi diri terhadap pola kehidupan kita dalam menjalani kehidupan ini.
Salah satu contohnya adalah Lebah. Sekalipun dia tidak punya akal. Akan tetapi lebah menurut saya adalah mahkluk ciptaan Allah yang amat mulia. Sehingga dalam Al-Quran pun Allah membuat satu Surat yang benama Lebah (An-Nahl) pada urutan surat ke 16. Dalam surah An-Nahl ini saya sangat terkesima ketika bacaan saya sampai pada ayat ke 68 dan 69. Sejenak bacaan saya terhenti disini sambil mengingat-ingat "tingkah laku" kawanan lebah dalam kesehariannya, baik lebah itu berpisah dari kawanan atau berkumpul disarangnya.
Tidak begitu sulit bagi saya untuk membayangkan pola hidup keluarga lebah. Karena dulu, sewaktu saya masih kecil Kakek saya pernah beternak lebah, dimana sarangnya terbuat dari pohon siwalan dengan diambil bagian tengahnya sehingga menyerupai bentuk Kendang jaipongan. Lobang kedua sisinya kemudian ditutup dengan kayu dengan diberi lobang kecil buat pintu keluar masuknya lebah.
Dalam kesehariannya, gerombolan lebah yang keluar dari rumahnya itu (rumah yang dibuatkan oleh kakek saya) tidak ada satupun yang saya jumpai dari mereka hinggap di tempat-tempat yang kotor. Pasti hinggapnya ditempat-tempat yang bersih, entah diatas bunga yang baru mekar atau diatas cangkir yang ada sisa-sisa kopi yang diminum kakek saya.
Luar biasa.... Mereka benar-benar taat terhadap insting yang diberikan Allah dalam kalimat "kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)", pada ayat ke 69. Tidak pernah lebah memakan dan meminum sesuatu yang kotor dan najis secara naluri kemanusiaan.
Alhasil kita pun bisa menyaksikan sendiri, dari makanan dan minuman yang mereka konsumsi tercipatalah sebuah peradaban yang begitu luar biasa. Disetiap pintu masuk sarang lebah, pasti pintunya bersegi 6. Hal ini menurut saya mungkin merupakan prinsip hidup sekawanan lebah untuk selalu mentaati rukun iman yang 6. Wallahu a'lam.
Selain itu kerjasama mereka begitu profesional dalam membagi tugas dan jabatan. Tidak ada lebah yang berebutan jabatan disitu. Semuanya sama-sama menerima terhadap keputusan sang raja, dibagian manapun dia di posisikan. Entah sebagai pencari makanan ataupun dibagian produksi madu. Akibat dari hasil kerjasama yang solid ini, lebahpun menghasilkan sebuah produk minuman yang begitu bermanfaat bagi manusia. Rasanya manis dan menyehatkan. Beda dengan jamu buatan manusia, Pahit, kecut, ada efek samping dan semacamnya.
Begitu luar biasanya tatanan peradaban lebah ini. Dalam ayat 69 Allah menegaskan, bahwa tanda-tanda kebesaran Allah ini hanya dikhususkan bagi manusia yang mau berfikir. Untuk itu, melalui oretan ini. Marilah sejenak kita berfikir. Bagaimana seandainya dalam hidup kita dibiasakan makan dan minum dengan makanan dan minuman yang baik serta halal. Tidak makan dan minum yang diharamkan. Bukankah telah banyak dalam Al-quran yang menjelaskan tentang makanan dan minuman yang haram. Kenapa sejenak kita tidak mau patuh terhadap perintah Allah sebagaimana lebah itu. Mengapa selama ini hati kita masih belum terbuka, untuk mengambil pelajaran dari ayat-ayat tadi. Padahal Allah sangat berhak mengatur kita, karena kita ini adalah cipataannya.
Untuk itu. Marilah kita bersama-sama masuk kedalam golongan orang-orang yang berfikir, yakni dengan mentafakkuri Surah An-Nahl: 68-69 diatas tadi. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam..
Note: Saya sangat menunggu saran dan kritikan dari para pembaca blog ini, demi perbaikan tulisan-tulisan saya berikutnya. Terimakasih.
Minggu, 07 Maret 2010
Hidup Lebih Tentram Dengan Menikah
"Mas.. Nikah itu enak ya mas?" Itulah pertanyaan singkat dari salah satu teman sekantor saya. Jujur, sebenarnya saya masih belum mengerti sepenuhnya maksud dari kata "enak" menurut teman saya itu apa? Namun meski begitu, saya jawab saja "ya.. enak.. bahkan bukan cuma enak, tapi perasaan kita selalu tenang, tentram, damai dan tidak ada lagi perasaan gelisah yang sering saya rasakan dulu waktu masih bujang".
Teman saya cuma manggut-manggut seraya memoncongkan bibirnya membentuk huruf O sebagai tanda bahwa ia mengerti. Ya. Memang seperti itulah segelintir perasaan yang saya rasakan semenjak sudah nikah. Sejak saat itulah, pikiran saya sudah mulai semakin dewasa. Mental kita pun juga semakin kuat. Apalagi kita sekeluarga saat ini berada di perantauan. Segala sesuatunya harus kita urusi sendiri, tanpa bantuan dari siapapun. Mulai dari keperluan KSK, KTP, kebutuhan rumah tangga dan lain sebagainya.
Kita benar-benar mandiri dengan memulai segala hal dari Nol, nyaris tanpa bantuan orang tua dan mertua saya. Salah satu contohnya adalah peralatan masak seperti kompor minyak, adalah punya istri saya yang dibelinya semenjak ia masih dipesantren berikut juga peralatan-peralatan dapur lainnya.
Sebagai sarana transportasi, Alhamdulillah satu tahun sebelum menikah saya sudah beli dari hasil keringat saya sendiri. Sedangkan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya kita merencakan untuk memilikinya secara bertahap. Entah tiap bulan atau 2 bulan. Semua yang saya sebutkan ini adalah modal awal saya menjalani kehidupan rumah tangga dari segi finansial.
Bagi saya, pengalaman ini akan menjadi (meminjam judulnya SO7) sebuah kisah klasik yang tidak akan pernah terlupakan di masa depan nanti. Hari pertama saya masuk kerja sesudah nikah, niat keberangkatan saya dari rumah pun berubah. Beda dengan masa-masa waktu bujang dulu. Dulu setiap berangkat kerja niat utama saya cuma sekedar ibadah, membantu member perusahaaan kantor untuk memperlancar urusannya dalam hal komunikasi.
Selain itu niat kedua saya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Itu saja. Setelah menikah niat keberangkatan saya ketempat kerja dengan niat Ibadah menjadi bertambah. Pertama menafkahi keluarga, dimana hal ini adalah perkara wajib bagi seorang suami. Kedua, sebagaimana niat ibadah sebelum nikah diatas tadi (membantu member perusahaaan).
Ketika pulang kerja. Tentu saja keadaan badan sudah lelah seharian bekerja. Dirumah disambut oleh senyum istri saya, berikut Kopi panas dan makanan kesukaan saya. Subhanallah. Luar biasa tentram hati ini. Shalat senantiasa berjamaah jika udzur untuk berangkat ke Mushalla sehingga kita tetap tidak ketinggalan pahala yang 27 derajat.
Tapi entahlah kenapa, disisi lain kata "menikah" saat ini sepertinya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi sebagian orang saat ini, termasuk salah satu teman saya itu. Alasannya ya beragam, ada yang siap dari segi finansial tapi dari segi mental belum siap. Bahkan ada juga yang belum siap kedua-duannya, ekonomi belum mapan mental juga belum siap. Tapi disisi lain mereka justru ingin segera menikah. Dan alasan yang lebih ironis lagi adalah belum menemukan pasangan yang cocok. Padahal mental dan finansial mereka sudah tidak diragukan lagi.
Mereka inginnya pacaran dulu, untuk mengenal satu sama lain dalam segala hal, mulai kepribadiannya, keluarganya dan lain-lainnya. Kalau dirasa tidak cocok ya putus, cari lagi. Sungguh ironis, kalau menurut saya justru hal seperti adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji. Berfikir sejenak, saya sedikit bisa memahami terhadap alasan-alasan yang mereka kemukakan.
Menurut saya banyak faktor sehingga mereka mengeluarkan alasan seperti diatas tadi. Terkait dengan mental yang belum siap untuk belajar mandiri bersama keluarga. Jawaban-jawaban seperti ini banyak saya dapatkan dari teman saya yang secara kemandiriannya belum terdidik dari sejak kecil hingga SMA bahkan sampai di bangku kuliah.
Hampir setiap saat orang tua mereka selalu menginterversi mereka dalam menyikapi segala hal. Jarang sekali mereka dikasih kesempatan untuk menghadapi masalahnya sendiri. Alhasil, ketika dewasa mereka masih belum sempat terpikirkan untuk menikah. Mereka ingin menikmati dan menghabisi masa mudanya dulu. Tentu saja dengan selalu mengandalkan intervensi orang tuanya ketika sebuah masalah akan/sedang menimpa mereka.
Dari tindakan semacam ini tidak akan menutup kemungkinan kalau seorang anak akan semakin enggan untuk hidup mandiri. Pikiran mereka tidak akan pernah dewasa sekalipun usia mereka sudah remaja. Mereka akan cenderung hidup bersenang-senang dari pada memikirkan hal yang akan terjadi dihari esok, karena segala konsekwensi yang mereka lakukan sudah ada yang akan mempertanggung jawabkannya, yakni orang tua mereka.
Itulah sepintas yang saya pahami secara subjektif dari alasan-alasan yang mereka kemukakan. Penilaian seperti itu lahir mengingat segala faktornya berbeda dengan saya. Saya sudah dibiasakan belajar mandiri oleh orang tua saya semenjak saya dimondokkan di pesantren mulai umur 19 sampai 24 tahun. Demikian juga istri saya yang nyantri selama kurang lebih 8 tahun sejak keluar dari Madrasah Ibtidaiyah.
Sehingga dengan demikian Alhamdulillah mental kitapun sudah siap dan tidak ragu lagi untuk segera menikah. Terus terang, saya tidak mempunyai solusi untuk mencari jalan keluar terkait masalah tidak siapnya mental karena faktor didikan orang tua tersebut. Mungkin diantara pembaca blog saya ini mau menambahkan atau mau memperbaiki uraian saya dipersilahkan. Dengan senang hati akan saya terima.
Wallahu a'lam..
Langganan:
Postingan (Atom)