Minggu, 07 Maret 2010

Hidup Lebih Tentram Dengan Menikah


"Mas.. Nikah itu enak ya mas?" Itulah pertanyaan singkat dari salah satu teman sekantor saya. Jujur, sebenarnya saya masih belum mengerti sepenuhnya maksud dari kata "enak" menurut teman saya itu apa? Namun meski begitu, saya jawab saja "ya.. enak.. bahkan bukan cuma enak, tapi perasaan kita selalu tenang, tentram, damai dan tidak ada lagi perasaan gelisah yang sering saya rasakan dulu waktu masih bujang". 


Teman saya cuma manggut-manggut seraya memoncongkan bibirnya membentuk huruf O sebagai tanda bahwa ia mengerti. Ya. Memang seperti itulah segelintir perasaan yang saya rasakan semenjak sudah nikah. Sejak saat itulah, pikiran saya sudah mulai semakin dewasa. Mental kita pun juga semakin kuat. Apalagi kita sekeluarga saat ini berada di perantauan. Segala sesuatunya harus kita urusi sendiri, tanpa bantuan dari siapapun. Mulai dari keperluan KSK, KTP, kebutuhan rumah tangga dan lain sebagainya. 

Kita benar-benar mandiri dengan memulai segala hal dari Nol, nyaris tanpa bantuan orang tua dan mertua saya. Salah satu contohnya adalah peralatan masak seperti kompor minyak, adalah punya istri saya yang dibelinya semenjak ia masih dipesantren berikut juga peralatan-peralatan dapur lainnya. 

Sebagai sarana transportasi, Alhamdulillah satu tahun sebelum menikah saya sudah beli dari hasil keringat saya sendiri. Sedangkan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya kita merencakan untuk memilikinya secara bertahap. Entah tiap bulan atau 2 bulan. Semua yang saya sebutkan ini adalah modal awal saya menjalani kehidupan rumah tangga dari segi finansial. 

Bagi saya, pengalaman ini akan menjadi (meminjam judulnya SO7) sebuah kisah klasik yang tidak akan pernah terlupakan di masa depan nanti. Hari pertama saya masuk kerja sesudah nikah, niat keberangkatan saya dari rumah pun berubah. Beda dengan masa-masa waktu bujang dulu. Dulu setiap berangkat kerja niat utama saya cuma sekedar ibadah, membantu member perusahaaan kantor untuk memperlancar urusannya dalam hal komunikasi. 

Selain itu niat kedua saya adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Itu saja. Setelah menikah niat keberangkatan saya ketempat kerja dengan niat Ibadah menjadi bertambah. Pertama menafkahi keluarga, dimana hal ini adalah perkara wajib bagi seorang suami. Kedua, sebagaimana niat ibadah sebelum nikah diatas tadi (membantu member perusahaaan). 

Ketika pulang kerja. Tentu saja keadaan badan sudah lelah seharian bekerja. Dirumah disambut oleh senyum istri saya, berikut Kopi panas dan makanan kesukaan saya. Subhanallah. Luar biasa tentram hati ini. Shalat senantiasa berjamaah jika udzur untuk berangkat ke Mushalla sehingga kita tetap tidak ketinggalan pahala yang 27 derajat. 

Tapi entahlah kenapa, disisi lain kata "menikah" saat ini sepertinya menjadi momok yang sangat menakutkan bagi sebagian orang saat ini, termasuk salah satu teman saya itu. Alasannya ya beragam, ada yang siap dari segi finansial tapi dari segi mental belum siap. Bahkan ada juga yang belum siap kedua-duannya, ekonomi belum mapan mental juga belum siap. Tapi disisi lain mereka justru ingin segera menikah. Dan alasan yang lebih ironis lagi adalah belum menemukan pasangan yang cocok. Padahal mental dan finansial mereka sudah tidak diragukan lagi. 

Mereka inginnya pacaran dulu, untuk mengenal satu sama lain dalam segala hal, mulai kepribadiannya, keluarganya dan lain-lainnya. Kalau dirasa tidak cocok ya putus, cari lagi. Sungguh ironis, kalau menurut saya justru hal seperti adalah perbuatan yang sangat tidak terpuji. Berfikir sejenak, saya sedikit bisa memahami terhadap alasan-alasan yang mereka kemukakan. 

Menurut saya banyak faktor sehingga mereka mengeluarkan alasan seperti diatas tadi. Terkait dengan mental yang belum siap untuk belajar mandiri bersama keluarga. Jawaban-jawaban seperti ini banyak saya dapatkan dari teman saya yang secara kemandiriannya belum terdidik dari sejak kecil hingga SMA bahkan sampai di bangku kuliah. 

Hampir setiap saat orang tua mereka selalu menginterversi mereka dalam menyikapi segala hal. Jarang sekali mereka dikasih kesempatan untuk menghadapi masalahnya sendiri. Alhasil, ketika dewasa mereka masih belum sempat terpikirkan untuk menikah. Mereka ingin menikmati dan menghabisi masa mudanya dulu. Tentu saja dengan selalu mengandalkan intervensi orang tuanya ketika sebuah masalah akan/sedang menimpa mereka. 

Dari tindakan semacam ini tidak akan menutup kemungkinan kalau seorang anak akan semakin enggan untuk hidup mandiri. Pikiran mereka tidak akan pernah dewasa sekalipun usia mereka sudah remaja. Mereka akan cenderung hidup bersenang-senang dari pada memikirkan hal yang akan terjadi dihari esok, karena segala konsekwensi yang mereka lakukan sudah ada yang akan mempertanggung jawabkannya, yakni orang tua mereka. 

Itulah sepintas yang saya pahami secara subjektif dari alasan-alasan yang mereka kemukakan. Penilaian seperti itu lahir mengingat segala faktornya berbeda dengan saya. Saya sudah dibiasakan belajar mandiri oleh orang tua saya semenjak saya dimondokkan di pesantren mulai umur 19 sampai 24 tahun. Demikian juga istri saya yang nyantri selama kurang lebih 8 tahun sejak keluar dari Madrasah Ibtidaiyah. 

Sehingga dengan demikian Alhamdulillah mental kitapun sudah siap dan tidak ragu lagi untuk segera menikah. Terus terang, saya tidak mempunyai solusi untuk mencari jalan keluar terkait masalah tidak siapnya mental karena faktor didikan orang tua tersebut. Mungkin diantara pembaca blog saya ini mau menambahkan atau mau memperbaiki uraian saya dipersilahkan. Dengan senang hati akan saya terima. 

Wallahu a'lam..

1 komentar:

  1. Bismillah
    Assalamu'alaykum Warohmatullohi Wabarokatuh
    Salam Ukhuwah
    Akhy.... tulisan ini sangat bagus...... i like!!
    Mohon do'ain ana "agar Alloh memberikan jodoh yang khoirot fiddunya khoirot fil akhirah"
    Amiin
    Wassalam

    BalasHapus